
Jakarta – Organisasi Lingkungan Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) mengungkapkan bahwa produksi dimethyl ether (DME) menghasilkan emisi karbon lima kali lebih besar dibandingkan dengan produksi LPG dalam jumlah yang sama. Pemerintah Indonesia kembali mendapat kritik tajam setelah Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan kelanjutan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME dengan pendanaan dari Danantara.
Keputusan ini diumumkan dalam rapat terbatas bersama Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional di Istana Merdeka pada awal Maret. Dana tersebut akan digunakan untuk menghidupkan kembali proyek gasifikasi batu bara di tiga lokasi yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
Namun, kebijakan ini menuai protes dari berbagai pihak, khususnya aktivis lingkungan yang menilai proyek tersebut sebagai bentuk penyelamatan industri batu bara yang mulai ditinggalkan secara global. Firdaus Cahyadi, pendiri Indonesian Climate Justice Literacy, mengkritik langkah pemerintah ini.
“Pemerintah membawa kabar buruk dengan rencana pendanaan Danantara untuk proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Batu bara merupakan sumber energi kotor, mulai dari proses penambangan hingga pembakarannya,” ujarnya. Firdaus menegaskan bahwa gasifikasi batu bara berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), yang merupakan penyebab utama perubahan iklim.
Menurutnya, pendanaan Danantara untuk proyek ini seharusnya ditolak, mengingat dampak lingkungan yang dihasilkan. AEER juga menyebutkan bahwa produksi DME menghasilkan sekitar 824.000 ton CO2 ekuivalen per tahun, jauh lebih besar dibandingkan dengan LPG. Banyak pihak menilai bahwa proyek gasifikasi ini bukan solusi energi bersih, melainkan strategi untuk mempertahankan bisnis batu bara yang mulai ditinggalkan dunia.
“Sangat ironis ketika kesadaran akan dampak buruk energi kotor semakin meningkat, baik secara nasional maupun global, pemerintah justru memperpanjang penggunaan batu bara melalui gasifikasi,” kata Firdaus. Ia juga menilai bahwa proyek ini lebih menguntungkan industri batu bara dibandingkan kepentingan masyarakat luas.
“Pendanaan Danantara untuk proyek hilirisasi batu bara lebih bertujuan menyelamatkan industri ini, bukan demi kepentingan masyarakat Indonesia,” tambahnya. Firdaus juga mengingatkan bahwa ini bukan pertama kalinya pemerintah mengambil kebijakan yang menguntungkan sektor batu bara.
“Sebelumnya, pemerintah juga memberikan konsesi tambang batu bara kepada organisasi masyarakat (ormas) Islam sebagai bentuk dukungan terhadap industri ini,” ungkapnya. Menurutnya, dominasi elite pendukung energi berbasis fosil di lingkaran kekuasaan menjadi salah satu faktor utama di balik lemahnya komitmen iklim Indonesia.
“Kehadiran elite yang mendukung energi kotor di pusat kekuasaan terus melemahkan upaya Indonesia dalam menangani krisis iklim,” tambah Firdaus.
Ia pun menyerukan agar masyarakat bersuara dan menolak pendanaan Danantara untuk proyek gasifikasi batu bara. “Jika publik tetap diam, maka keselamatan mayoritas rakyat akan dikorbankan demi kepentingan segelintir orang kaya yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan,” pungkasnya.