
Gerakan boikot terhadap Starbucks, yang dipelopori oleh pendukung pro-Palestina, semakin intens setelah serangan Israel ke Gaza beberapa waktu lalu. Aksi boikot ini kini mulai memberikan dampak signifikan terhadap kondisi finansial perusahaan, yang bahkan diakui langsung oleh CEO Starbucks. Ia mengungkapkan bahwa boikot tersebut telah merugikan bisnis mereka secara substansial.
Pemicu utama gerakan ini adalah tindakan Starbucks yang menggugat serikat pekerjanya, Starbucks Workers United, setelah serikat tersebut menunjukkan dukungannya terhadap Palestina lewat sebuah tweet. Perusahaan menuduh serikat pekerjanya memberikan “dukungan terhadap kekerasan oleh Hamas” dalam unggahan yang diposting pada Januari 2025. Namun, setelah menerima tekanan besar, Starbucks akhirnya mencabut gugatan tersebut.
Sejak dimulainya boikot global pada 2023, dampaknya telah terasa terutama di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara. Ribuan pekerja Starbucks di Timur Tengah kehilangan pekerjaan mereka, sementara di Malaysia, lebih dari 50 gerai Starbucks terpaksa tutup karena penurunan jumlah pelanggan.
Gerakan boikot terhadap perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan pendudukan Israel sudah berlangsung lama, dengan rakyat Palestina dan aktivis internasional terus mengorganisir kampanye untuk menekan perusahaan yang mendukung kebijakan Israel. Meskipun Starbucks tidak secara resmi terdaftar dalam Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), kampanye boikot terhadapnya berkembang pesat di kalangan konsumen global. Dengan penyebaran informasi dari mulut ke mulut, semakin banyak konsumen yang memilih untuk tidak membeli produk Starbucks sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan Palestina.
Gerakan BDS, yang terus berkembang, telah mencatat sejumlah keberhasilan, salah satunya adalah berhasil menekan perusahaan teknologi besar, Intel, untuk menghentikan pembangunan pabrik senilai $25 miliar di Israel. Meskipun perusahaan-perusahaan besar jarang mengakui bahwa keputusan mereka dipengaruhi oleh tekanan BDS, kampanye tersebut menunjukkan dampak yang signifikan dalam menekan perusahaan yang terlibat dalam pendudukan.
Dengan meluasnya boikot ini, tekanan terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan Israel semakin meningkat. Aktivis yakin bahwa semakin banyak perusahaan yang menarik dukungan finansial dan operasionalnya dari Israel, maka semakin besar tekanan global terhadap negara tersebut. Hal ini diyakini dapat membantu mengakhiri penjajahan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina.